Rabu, 09 Mei 2012

Ragam Kebijakan Pengembangan UKM

Menurut Eugene dan Morce (1965) dalam Tambunan (2001), tipe kebijakan pemerintah sangat  enentukan pertumbuhan UKM. Ada empat pilihan:
(1)  Kebijakan do nathing policy: pemerintah apapun alasannya sadar tidak perlu berbuat apa-apa dan membiarkan UKM begitu saja,
(2)  kebijakan memberi perlindungan (protection policy) terhadap UKM: kebijakan ini bersifat elindungi UKM dari kompetisi dan bahkan memberi subsidi,
(3)  kebijakan berdasarkan ideology pembangunan (developmentalist): kebijakan ini memilih  ndustri yang potensial (picking the winner) namun tidak diberi subsidi dan
(4)  kebijakan yang semakin popular adalah apa yang disebut .market friendly policy. dengan penekanan pada pilihan brood based, tanpa subsidi dan kompetisi.
Pada masa lalu, pemerintah memilih kebijakan tipe kedua (protection) akan tetapi kerangka tujuan jatuh pada pilihan ketiga, yakni developmentalist. Hasilnya baik industri besar dan kecil menengah tidak berhasil. Ketidak berhasilan ini disebabkan oleh lingkungan yang diciptakan oleh kebijakan tersebut pada dasarnya membuat UKM masuk usaha yang tumbuh secara distorsif. Oleh karena itu pilihan kebijakan yang menempatkan UKM sebagai entitas yang perlu diproteksi
dan subsidi perlu dievaluasi dalam konteks mempersiapkan UKM menghadapi pasar bebas.  Apalagi kalau pemerintah sudah berketetapan menjadikan UKM sebagai salah satu sektor ekonomi andalan penghela pertumbuhan setelah keberhasilannya menjadi safety net pada saat krisis.
Dalam hubungan ini, dewasa ini, semakin jelas bahwa UKM secara dikotomis dibagi ke dalam dua jenis definisi. UKM dengan definisi usaha mikro dibedakan dengan usaha kecil dan menengah yang dianggap potensial dapat  dikembangkan. Akan tetapi sesungguhnya distribusi UKM yang pincang, dimana usaha mikro dalam jumlah yang sangat (melebihi 2,5 juta unit) sedangkan usaha kecil potensial mungkin tidak lebih dari 300 ribu unit dan usaha menengah di Indonesia sama sekali belum jelas. Kaitannya dengan kebijakan yang terbangun dalam persepsi yang popular adalah usaha kecil mikro cocok untuk .welfare policy. sedangkan untuk UKM adalah competitive business policy. Persepsi ini sebenarnya justru menimbulkan bias dalam pengembangan UKM dan  kekaburan kebijakan pengembangan UKM. Di sini terlihat UU No.9/1995 tentang UKM tidak dapat memberi jalan keluar, kecuali hanya mampu mengakomodasi semua pendapat. Kalau dibangun kebijakan bersifat kategorial target, maka UU No.9, 1995 kurang dapat memberi jawaban. Sebenarnya, kalau diamati secara mendalam ketahanan UKM dalam menghadapi krisis ekonomi bukanlah ditentukan oleh kebijakan pemerintah, melainkan ditentukan oleh lingkungan ekonomi dan daya adaptasi dari UKM itu sendiri terhadap iklim mekanisme ekonomi pasar persaingan selama ini. Berbagai penelitian yang disponsori The Asia Foundation (TAF) dan Swisscontact menunjukkan bahwa daya survival dari UKM cukup tinggi. Menarik untuk dikaji hasil statistik dua sensus BPS (Kusnadi Saleh dan R. Heriawan, 1999)3, tentang perkembangan (jumlah) industri manufaktur antara tahun 1986 dengan 1996 (sebelum krisis). Jumlah industri pengolahan berskala kecil tahun 1986 tumbuh dari 1,5 menjadi 2,8 juta unit atau tumbuh dari sekitar 13 menjadi 23% atau tumbuh sekitar 80%. Di sisi penyerapan tenaga kerja untuk periode yang sama nampak pertumbuhan absorbsi industri besar lebih cepat dari industri kecil, industri kecil tercatat tumbuh dari 3,5 menjadi 6,6 juta (tumbuh sekitar 89%) sedangkan industri besar dan sedang tumbuh dari 1,7 menjadi 4,2 juta atau tumbuh 149%.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar