Menurut Eugene dan Morce
(1965) dalam Tambunan (2001), tipe kebijakan pemerintah sangat enentukan pertumbuhan UKM. Ada empat pilihan:
(1)
Kebijakan
do nathing policy: pemerintah apapun alasannya sadar tidak perlu berbuat
apa-apa dan membiarkan UKM begitu saja,
(2)
kebijakan
memberi perlindungan (protection policy) terhadap UKM: kebijakan ini
bersifat elindungi UKM dari kompetisi dan bahkan memberi subsidi,
(3) kebijakan berdasarkan ideology pembangunan (developmentalist):
kebijakan ini memilih ndustri yang
potensial (picking the winner) namun tidak diberi subsidi dan
(4) kebijakan yang semakin popular adalah apa yang disebut .market
friendly policy. dengan penekanan pada pilihan brood based, tanpa subsidi
dan kompetisi.
Pada masa lalu,
pemerintah memilih kebijakan tipe kedua (protection) akan tetapi
kerangka tujuan jatuh pada pilihan ketiga, yakni developmentalist.
Hasilnya baik industri besar dan kecil menengah tidak berhasil. Ketidak
berhasilan ini disebabkan oleh lingkungan yang diciptakan oleh kebijakan
tersebut pada dasarnya membuat UKM masuk usaha yang tumbuh secara distorsif. Oleh karena itu pilihan kebijakan yang menempatkan UKM
sebagai entitas yang perlu diproteksi
dan subsidi perlu
dievaluasi dalam konteks mempersiapkan UKM menghadapi pasar bebas. Apalagi kalau pemerintah sudah berketetapan
menjadikan UKM sebagai salah satu sektor ekonomi andalan penghela pertumbuhan
setelah keberhasilannya menjadi safety net pada saat krisis.
Dalam hubungan ini,
dewasa ini, semakin jelas bahwa UKM secara dikotomis dibagi ke dalam dua jenis
definisi. UKM dengan definisi usaha mikro dibedakan dengan usaha kecil dan
menengah yang dianggap potensial dapat
dikembangkan. Akan tetapi sesungguhnya distribusi UKM yang pincang,
dimana usaha mikro dalam jumlah yang sangat (melebihi 2,5 juta unit) sedangkan
usaha kecil potensial mungkin tidak lebih dari 300 ribu unit dan usaha menengah
di Indonesia sama sekali belum jelas. Kaitannya dengan kebijakan yang terbangun
dalam persepsi yang popular adalah usaha kecil mikro cocok untuk .welfare
policy. sedangkan untuk UKM adalah competitive business policy. Persepsi
ini sebenarnya justru menimbulkan bias dalam pengembangan UKM dan kekaburan kebijakan pengembangan UKM. Di sini
terlihat UU No.9/1995 tentang UKM tidak dapat memberi jalan keluar, kecuali
hanya mampu mengakomodasi semua pendapat. Kalau dibangun kebijakan bersifat
kategorial target, maka UU No.9, 1995 kurang dapat memberi jawaban. Sebenarnya,
kalau diamati secara mendalam ketahanan UKM dalam menghadapi krisis ekonomi
bukanlah ditentukan oleh kebijakan pemerintah, melainkan ditentukan oleh
lingkungan ekonomi dan daya adaptasi dari UKM itu sendiri terhadap iklim
mekanisme ekonomi pasar persaingan selama ini. Berbagai penelitian yang
disponsori The Asia Foundation (TAF) dan Swisscontact menunjukkan bahwa daya
survival dari UKM cukup tinggi. Menarik untuk dikaji hasil statistik dua sensus
BPS (Kusnadi Saleh dan R. Heriawan, 1999)3, tentang perkembangan (jumlah)
industri manufaktur antara tahun 1986 dengan 1996 (sebelum krisis). Jumlah
industri pengolahan berskala kecil tahun 1986 tumbuh dari 1,5 menjadi 2,8 juta
unit atau tumbuh dari sekitar 13 menjadi 23% atau tumbuh sekitar 80%. Di sisi
penyerapan tenaga kerja untuk periode yang sama nampak pertumbuhan absorbsi
industri besar lebih cepat dari industri kecil, industri kecil tercatat tumbuh
dari 3,5 menjadi 6,6 juta (tumbuh sekitar 89%) sedangkan industri besar dan
sedang tumbuh dari 1,7 menjadi 4,2 juta atau tumbuh 149%.