Sabtu, 02 April 2011

Politik Era Reformasi

Gerakan reformasi yang muncul pada awal 1998, kini genap berumur 10 tahun. Pada mulanya, agenda yang diusung cukup beragam, dari tuntutan untuk mengakhiri praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Soeharto
harus lengser demokratisasi dari sistem otoriter, pencabutan dwifungsi ABRI, pemulihan krisis politik - ekonomi, serta sejumlah agenda politik lainnya. Lantas, setelah 10 tahun berjalan, kemajuan dan kemunduran apa yang patut kita catat? Dan pelajaran apa yang kita dapat dari politik era reformasi?

Anomali dan Kemunafikan Politik

Politik di Indonesia pasca jatuhnya Soeharto terjadi dalam suasana change to change, yang sifatnya bukan lagi transisional, tetapi dapat disebut sebagai transaksional. Transisi yang merupakan kerangka waktu untuk menandai
suatu pergantian dari rezim otoritarian ke rezim demokrasi terjadi dalam suasana transaksional, suatu ciri dan tanda- tanda berkuasanya kroni-kroni rezim lama dalam format politik baru. Transaksional yang dimaksud adalah perilaku-
perilaku politik rezim "baru," berkompromi dengan kekuatan kroni-kroni Soeharto yang mengubah wajah politiknya dalam suasana reformasi.

Kekuatan politik (partai politik dan tokoh-tokohnya) yang lahir di masa reformasi, apakah itu PAN, PDIP, PKB, PKS, serta sejumlah partai dan tokohnya yang lain, kurang mampu mendorong gerbong perubahan yang lebih terarah. Wajah politik Indonesia justru terjerembab dari sifat perubahan demi perubahan.Ciri ini mirip dengan anomali politik, di mana sistem politikyang dibangun kurang memiliki arah, tujuan, dan sasaranyang jelas, khususnya dalam konsolidasi demokrasi dan
merampungkan sejumlah agenda reformasi yang melahirkan transisi. Dampaknya, sejumlah agenda reformasi yang diusung sebagai suatu momentum bersama untuk melangkah dalam kehidupan politik yang lebih baik tidak terjadi. Sebaliknya, anomali demi anomali sering kita saksikan dalam praktik politik.

Kita dapat mencatat sejumlah hal, pertama, amandemen konstitusi mengalami "penyebaran," yang justru melahirkan kontradiksi hukum. Kita menganut system presidensial di satu sisi, tetapi dalam amandemen UUD 1945 praktik-praktik parlementer terjadi. Kedua, terjadi kontradiksi aturan main antara pusat dan daerah, kepastian hukum yang dihasilkan oleh kebijakan pusat dan daerah saling bertabrakan. Ketiga, agenda penghapusan KKN yang dituntut mahasiswa sebagai akar masalah yang menyebabkan krisis politik dan ekonomi sulit diubah dari wajah perpolitikan Indonesia. Bedanya, bila di masa Orde Baru, KKN terpusat pada sosok dan keluarga Soeharto sebagai patron, kini KKN menyebar dalam diri rezim-rezim penguasa mulai dari tingkat pusat hingga ke tingkatdaerah.

KKN sebagai agenda utama yang harus diberantas justru mengalami metamorfosis. Bentuk-bentuknya berimpit pada diri rezim-rezim yang berkuasa. Bangsa kita menjadi bangsa yang munafik karena dalam praktiknya, KKN justru semakin terjadi secara transparan. Padahal, isu penghapusan KKN adalah isu utama gelombang reformasi sejak akhir 1997 dan awal 1998. Keempat, kita menyaksikan fenomena umum terjadinya korupsi "berjamaah" di mana-mana, dari tingkat pusat
hingga tingkat daerah. Kita menyaksikan drama kolosal para koruptor menjadi "pahlawan" di televisi dan tidak punya rasa malu. Padahal, persoalan korupsi adalah persoalan awal yang dianggap telah merongrong bangsa ini sehingga mengalami krisis ekonomi dan politik yang sangat parah.

Tetapi, mengapa para elite yang berkuasa lupa diri akan situasi krisis yang baru saja berlalu. Aji mumpung menjadi fenomena umum karena di mana ada kesempatan berkuasa, ternyata sifat kekuasaan identik dengan praktik- praktik korupsi. Berapa banyak penguasa di daerah, gubernur, bupati, dan wali kota yang terseret masalah itu. Kelima, agenda pengusutan harta dan kekayaan Soeharto
juga mengalami kebuntuan, bahkan kini muncul wacana "dibebaskan" dari segala tuntutan. Sikap dan perilaku elite yang berkuasa memang "ambivalen," di satu sisi
menghendaki kasus Soeharto terus dilanjutkan, di sisi lain, perkara itu dapat dihentikan dengan pemberian maaf.

Inilah makna transaksional yang dimenangkan kelompok kroni-kroni Soeharto dalam perjalanan 10 tahun reformasi. Tidak heran bila kita mengatakan reformasi telah mati suri sejak Pemilu 1999 menghasilkan susunan kabinet dan menteri serta anggota legislatif. Kita menyaksikan elite politik yang "lupa diri" atas permasalahan yang dihadapi masyarakat secara umum dan agenda utama politik yang diusung reformator di masa-masa awal penjatuhan Soeharto tidak dijalankan. Para elite yang berkuasa yang dibelit persoalan harga yang tinggi, krisis yang berkelanjutan, pengangguran dan nilai tukar rupiah yang tidak stabil, serta sejumlah fenomena ekonomi-politik lainnya, menjadi gagap dan ketakutan. Risiko politik yang tinggi menyebabkan penguasa yang lahir di masa reformasi mencari jurus selamat. Jurus itu adalah transaksional yang ujung-ujungnya adalah kompromi dengan kroni-kroni kekuatan lama (Orde Baru).
Sumber
http://www.zulwiyozarena.co.cc/2010/09/politik-era-reformasi.html